Ia paling benci menunggu. Ia sudah terbangun pagi-pagi sekali dan sungguh mati kantuknya lenyap begitu saja. Padahal semalam ia hampir tak bisa tidur. Menunggu, ah betapa waktu bergerak lamban rasanya. Jam seperti ikut mengejeknya, bergerak pelan sekali. Pagi ini, beberapa jam sebelum waktu yang mereka tentukan -Rima akan datang ke kamarnya, bercakap-cakap sejenak sebelum kemudian keluar- ia sudah duduk di depan komputer. Ia sudah tak bisa melakukan apa pun. Membuka-buka file dan tak berselera menuliskan apa pun. Ia putar winamp yang semalam lagu-lagunya dipilih Rima sebelum gadis itu pulang. Ia keluar kamar, mengambil segelas air putih dan membawanya kembali ke kamar. Wana masih tertidur dengan pasrah di ruang depan, Jusuf belum bangun, Ridwan dan kawan-kawan yang lain belum datang dari kampung sejak lebaran kemarin. Rumah kontrakan itu masih sepi, padahal subuh sudah dari tadi berlalu. Biasanya, dia pun di jam-jam seperti ini masih juga terlelap seperti yang lain. tapi pagi ini, sebuah janji telah membuatnya tak bisa tidur. Tak bisa melakukan apa pun. Sungguh, ia merasa begitu konyol. Jatuh cinta dan berubah kekanakan. Sambil tiduran ia mendengarkan beberapa lagu yang diputar pelan; beberapa komposisi Jazz yang tidak ia tahu milik siapa. Sial, semua bergerak makin lamban. Jam sepuluh yang hanya berjarak 15 menit dari sekarang terasa begitu panjang. Sejak tadi pagi dia terbangun, tapi tak juga sempat melakukan apa pun. Bahkan belum ke kamar mandi sekedar gosok gigi. Pelan, matanya mulai terasa berat. Antara bangun dan jaga, ia merasakan tiupan kecil di telinganya. Ia merasa ada tangan yang sedang mengusap pipinya. Ketika ia membuka mata, ia melihat Rima duduk di sampingnya sambil tersenyum. "Oh, aku ketiduran." Katanya mengusap mata, membenahi posisi tubuh dan pakaiannya yang berantakan. "Sudah lama, Sayang Rima tersenyum. Menggeleng pelan. "Aku harus jujur? Nyaris gak bisa tidur. Kau dan janji kita siang ini membuatku insomnia." Katanya sambil ketawa. Rima mencibir dengan kerlingan mata yang terlihat lucu. "Mandi sana, bauk." Bisik Rima sambil medorong kecil ketika ia hendak mencium pipi gadis itu. Ia terbahak. Sebuah lagu mengalir dari winamp: Bagaimana bila aku bukanlah perawan seperti yang kau ingin (1) "Satu pertanyaan untukmu," Katanya dengan mimik wajah serius. Rima tertawa melihat mimiknya yang sok serius. "Seberapa pentingkah arti keperawanan menurutmu kasihku?" Ia mendesah ringan. "Selalu kamu memberikan pertanyaan balik untukku. Hmm, baiklah kujawab terlebih dahulu. Tergantung. Nilainya bagiku amat tergantung situasi. Nah sekarang giliranmu." Rima menunduk. Laki-laki itu tak jadi berdiri. Rima memeluknya dari belakang. Sunyi beberapa saat. "Jangan serius-serius begitu, ah." Ia memeluk Rima dengan cepat. Tetapi secepat kilat Rima mengibaskan tangannya. Ia terhenti sejenak, menatap Rima dengan seksama. Ada sesuatu yang serius, pikirnya. Keseriusan yang bermula dari omongan basa-basi. "Aku tidak bisa mendiamkan ini lama-lama, Min. aku harus mengatakan sebelum kita terlanjur jauh. Mungkin sekarang waktunya. Tetapi aku benci mengatakan ini." "Ma, kalau memang belum bisa dibicarakan, tak usah dipaksa. Nanti akan ada waktu yang tepat. Ini masih terlalu pagi untuk membicarakan hal-hal yang membuatmu sedih." "Tidak, Min. aku harus bicara sekarang. Terserah kau akan bersikap seperti apa." "Aku harus mengatakan ini. Aku tidak mau, suatu waktu kau menyesali ini, atau tahu dari orang lain. Aku sudah tidak perawan." Bibir itu bergetar ketika mengatakan itu. "Ya, aku sudah tidak perawan.." "Biarkan aku menyelesaikan ceritaku, selagi aku bisa. Aku melakukannya dengan pacarku di SMA. Di SMA, kau tahu. Beberapa tahun lalu. Aku tidak tahu menyalahkan dia yang terus-terusan memaksaku atau menyesali aku yang bodoh. Ia selalu meminta keperawananku sebagai bukti cinta. Dan aku, ketika itu begitu mencintainya," "Aku tidak tahu bagaimana menceritakannya. Aku terlalu goblok. Aku bodoh." Rima menyusupkan kepalanya lebih dalam ke dada Amin. "Aku merasa tak akan bisa melepaskan diri darinya. Aku berkali-kali mencoba lari darinya, berkali-kali dia menemukanku. Setiap pertengkaran selalu meninggalkan bekas ditubuhku. Dia terlalu kasar dan menekanku. Entah kenapa aku selalu gagal melawan bujukannya." Diam sesaat. Tiba-tiba saja, kamar itu rasanya penuh sesak oleh haru-biru. "Orang tuaku kemudian melarang kami berhubungan. Dan aku masih anak SMA yang tolol. Merasa hidup kami seperti cerita-cerita picisan. Hubungan yang tak direstui. Kami melakukannya agar kami bisa menikah dan diterima keluarga. Kau bayangkan, goblok sekali bukan? Tetapi aku baru menyadari, setelah aku mulai kuliah, mengenal lebih luas dunia, aku merasa dunia tak berhenti di sini saja. Tapi aku tak semudah itu lepas darinya. Kau tentu tahu bagaimana usahaku menghindarinya. Sampai saat ini pun, rasanya bayangannya ada di mana-mana. Menguntitku. Aku takut. Aku takut sekali. Aku ingin menghapus seluruh bayangnya. Menghapus dia dari hidupku." "Segala yang sudah lewat adalah kenangan. Ia menjadi peristiwa masa lalu. Dan denganmu aku inginkan untuk masa depan." "Kuharap tak ada yang perlu kita sesali suatu waktu nanti dan tak ada yang perlu kita tutup-tutupi." "Aku mandi dulu, setelah itu aku ingin mengajakmu makan dan jalan-jalan seharian. Jangan katakan mama tengah menunggumu di rumah." Rima tergelak dan mengangguk. "Aku akan menunggumu dan mengikuti ke mana pun kamu mau." Katanya sambil melepaskan pelukan. Dipandangi tubuh lelaki itu sampai keluar dari kamar dengan keharuan yang tak tertahankan. Laki-laki itu masuk ke kamar mandi. Di putarnya kran air besar-besar lalu menangis sejadi-jadinya, di sana.*** Poetika, November 2006-Februari 2008 Catatan: |
18 Desember 2008
Cowok yang nangis di kamar mandi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar